Friday 3 May 2013

Ki Hadjar Dewantara dan Perkembangan Pendidikan di Nusantara

Sirajudin Hasbi

Hari Pendidikan Nasional 2 Mei diambil dari hari lahir Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan yang namanya masyhur dalam lembaran sejarah bangsa. Berikut ini cerita singkat mengenai menteri pendidikan pertama republik ini, yang punya sumbangsih begitu besar:

Perjalanan hidup
Sebagai bangsawan yang besar di lingkungan keraton Yogyakarta, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (nama asli Ki Hadjar) memperoleh pendidikan yang layak. Setelah menamatkan sekolah dasar di Europeesche Lagere Scholen (ELS, sekolah rendah berbahasa Belanda selama tujuh tahun), dia kemudian melanjutkan sekolah ke Stovia. Sayang, sekolahnya tidak selesai lantaran sakit.
Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai jurnalis. Dia terkenal andal menyajikan tulisan komunikatif, dengan pesan yang mampu membangkitkan semangat antikolonialisme bagi pembaca. Ada beberapa harian yang tercatat pernah menjadi tempat Ki Hadjar Dewantara menerbitkan tulisannya, yakni Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.

Selain aktif menulis, Ki Hadjar juga mengikuti organisasi sosial dan politik Budi Utomo. Seiring waktu, dia berkenalan dengan tokoh penting seperti Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Mereka bertiga lalu mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1913 yang bertujuan mencapai Indonesia Merdeka. Di kemudian hari, organisasi ini ditolak pemerintah Hindia Belanda.

Perjuangan tetap berlanjut. Pada tahun 1913, ada dua artikel hasil goresan tangan beliau yang begitu terkenal. Yakni “Als ik eens Nederlander was” (Jika Saya Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu Untuk Semua Tapi Semua untuk Satu Juga).

Tulisan “Jika Saya Seorang Belanda” membuat marah pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal Idenburg menghukum Ki Hadjar Dewantara dengan mengasingkannya ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo (yang memprotes hukuman itu) pun ikut pula dihukum. Dekker dibuang ke Kupang dan Mangunkusumo ke Pulau Banda. Karena dipikir di tempat terpencil tidak banyak hal yang bisa diperoleh, ketiganya meminta diasingkan ke Belanda saja. Terkabul. Alhasil, mulai Agustus 1913, tiga serangkai ini diasingkan ke Belanda.

Di negeri penjajah inilah Ki Hadjar mulai tertarik pada pendidikan. Berkat kegigihannya dalam belajar, Ki Hadjar Dewantara memperoleh Europeesche Akte di bidang pendidikan dan pengajaran. Pada 1918, dia kembali ke tanah air.

Mendirikan Taman Siswa
Mimpi Ki Hadjar untuk bisa menyelenggarakan sekolah bagi masyarakat secara luas (tidak hanya orang Belanda dan priyayi) terwujud pada tanggal 3 Juli 1922, ketika dia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau yang dikenal sebagai Perguruan Nasional Taman Siswa — sekolah yang bercorak nasional.

(Sebelumnya, pada tahun 1848, Belanda mendirikan 20 Regentschapscholen khusus bagi anak-anak priyayi. Tahun 1907, J.B. van Heutz mendirikan Volksschoelen (sekolah rakyat) yang menawarkan pendidikan tiga tahun menggunakan bahasa lokal dengan guru-guru pribumi.)

Tujuan utama pendirian Taman Siswa adalah memberikan pengajaran secara luas dengan dasar kerakyatan. Pendidikan Taman Siswa diarahkan untuk mengembangkan kepribadian yang baik dan kebebasan individu di dalam budaya nasional dan bukan kolonial.

Taman Siswa juga mandiri dalam mengurus diri, termasuk soal pendanaan. Sekolah ini tidak menerima subsidi dari pemerintah kolonial.

Walaupun demikian, Taman Siswa mampu berkembang dengan baik. Pendidikan yang diselenggarakan oleh Perguruan Taman Siswa melingkupi Taman Indria (TK), Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan Taman Madya (SMA). Taman Siswa pun mampu berkembang menjadi 166 sekolah pada 1932 (Kamus Sejarah Indonesia, Robert Cribb dan Audrey Kahin).

Taman Siswa sempat mengalami masalah ketika gubernur jendral De Jonge mengeluarkan “Ordonansi Pengawasan” yang dimuat dalam Saatsblad no. 494 tertanggal 17 September 1932 yang bertujuan “menertibkan” wilden scholen (sekolah “liar” yang tidak memperoleh subsidi dan ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial). Setiap sekolah “liar” ini diwajibkan meminta izin pada pemerintah kolonial sebelum membuka kelas pengajaran. Guru yang mengajar pun harus memiliki izin.

Adanya peraturan ini tentu menimbulkan perlawanan. Ki Hadjar Dewantara bersama Mohammad Sjafei dari INS Sumatera Barat dengan dukungan dari 27 organisasi (PSII, Budi Utomo, Partindo, Muhammadiyah, dll) berhasil memimpin kampanye nasional yang berujung pada pencabutan peraturan tersebut. Jumlah sekolah liar diperkirakan mencai 2200 dengan 142 ribu murid pada akhir dekade 1930-an. Taman Siswa dan sekolah lainnya pun terus berkembang dan berdampak positif bagi pendidikan bangsa.

Tiga puluh tiga tahun sejak berdirinya Taman Siswa atau tepatnya pada 15 November 1955, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kini menjadi Universitas Sarjanawinata Tamansiswa (UST,). Dengan adanya Taman Prasarjana ini, pendidikan di Indonesia harus memungkinkan masyarakatnya untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan yang pertama. Berkat sumbangsihnya pada dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara memperoleh gelar doktor kehormatan dari UGM pada 1957.

Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), dan Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan) senantiasa kita jumpai di setiap tingkatan pendidikan di negeri ini.

Semoga, momentum hari pendidikan tahun ini bisa kita gunakan untuk mengamalkan ajaran sederhana yang penuh makna tersebut, bukan sekadar menyuarakannya dengan lantang ketika upacara peringatan hari pendidikan nasional.
Share:

0 komentar:

Post a Comment